【留学フェア特集2012】 Robot Antar ke Negeri Sakura Hidup Nyaman di Kota Daerah
Biodata
Universitas Negeri
Dzulfahmi (26)
Universitas Gunma, Departmen Ilmu Komputer, Fakultas Teknik, Program S1 (2009-2011) , Saat ini Program S2 di jurusan yang sama
Ketertarikan dengan robot, mendorong saya mencoba mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri di Universitas Indonesia (UI) dan berhasil mendapatkan beasiswa untuk Jurusan Teknik Elektro, sebelum memutuskan ke Jepang untuk mendalami lebih jauh tentang robot dan teknologi di sana.
Setelah setahun belajar di UI, saya merasa kurang puas dengan teknologi yang dimiliki Indonesia saat itu. Menurut saya, Indonesia tahun 2005 masih tertinggal di bidang teknologi. Akhirnya saya memutuskan untuk mencoba mengambil beasiswa ke luar negeri.
Pilihan utama saya langsung jatuh pada Jepang. Sebelumnya, saya memang sudah menyukai animasi dan budaya Jepang, dan saat itu saya beranggapan bahwa masyarakat Jepang sangat terbuka dan bebas, apalagi tentang agama. Selain itu, alasan yang paling utama adalah teknologi Jepang saat itu sudah sangat maju, dibuktikan dengan peluncuran robot Asimo tahun 2005 oleh Honda.
Tahun 2006, saya mencoba ikut ujian beasiswa dari pemerintah Jepang (Monbusho), dan berhasil lolos serta diterima di Tokyo Technical College Jurusan Web Programming tanpa mengeluarkan biaya sekolah dan asrama.
Waktu itu saya memilih program D2, dan wajib belajar bahasa Jepang terlebih dahulu selama satu tahun, karena materi kuliah yang diberikan menggunakan bahasa Jepang. Selama belajar bahasa, saya diajari dasar cara menulis hiragana, katakana, dan kanji.
Setelah menyelesaikan program D2, saya mengajukan perpanjangan ke jenjang S1 di Gunma University.
Salah satu kelebihan Monbusho adalah mahasiswa dapat mengajukan perpanjangan, dengan syarat lulus ujian untuk S1, atau melakukan presentasi skala Internasional untuk mempublikasikan karyanya.
Selain itu, peluang untuk menda-patkan beasiswa di Jepang juga cukup besar. Saat ingin melanjutkan S2, saya tidak sempat melakukan presentasi skala Internasional, tapi saya mengikuti program “Yoneyama Shogakuin”, lembaga yang sering memberikan donasi untuk pendidikan berupa dana. Akhirnya saya masuk dan melanjutkan S2 di Gunma Jurusan Computer Science di bagian Image Processing hingga sekarang.
Meski saat mendengar nama Gunma yang terpikir adalah desa dengan pegunungan dan hutan, tapi pendidikan di sana sangat baik, dan juga memiliki pendidik yang berkualitas. Selain itu, Gunma University juga sering melakukan kerjasama dengan sejumlah perusahaan, sehingga mahasiswa dapat melakukan riset dengan sokongan dana baik dari universitas ataupun perusahaan-perusahaan yang bekerjasama.
Saya juga pernah melakukan riset guna mengikuti “Tsukuba Challenge”, lomba robot se-Jepang bersama tim robot di univeristas, dan menang. Robot yang kami buat menggunakan sistem kamera, sehingga dapat berjalan sendiri dan menghindari rintangan tanpa remote control.
Salah satu alasan saya memilih Gunma sebagai tempat belajar yaitu selain pendidikan yang merata, biaya hidup di sana juga tergolong murah. Sewaktu saya belajar D2 di Tokyo, saya pernah kerja paruh waktu untuk uang tambahan, tapi setelah di Gunma, uang beasiswa dan kiriman dari keluarga bisa cukup untuk satu bulan.
Gunma juga terkenal dengan hutan dan pepohonan yang masih rimbun, diantaranya pohon momiji dan sakura. Saat musim gugur, daun-daunnya berubah warna menjadi merah dan memenuhi Gunma. Bagi saya, Gunma itu indah dan segar karena lokasinya dekat gunung dan masih memiliki banyak pohon bahkan hutan.
Meskipun transportasinya agak sulit, tapi di sini banyak tempat-tempat menarik yang gratis, misalnya Gunma Flower Park dan kebun binatang Kiryugaoka. Di Gunma juga banyak terdapat onsen atau kolam pemandian air panas, yang buka hingga 24 jam.
Selama sekitar 6 tahun di sini, pandangan dan pemikiran saya tentang Jepang dan masyarakatnya tidak berubah sedikitpun. Tapi ada satu kendala bagi saya yang seorang muslim, yaitu sulit sekali mendapatkan makanan halal.
Walaupun terbuat dari ayam atau daging, tapi bumbu yang digunakan sebagian besar mengandung daging babi atau sake, sehingga hampir setiap hari saya masak sendiri dengan bahan yang dibeli secara online atau terkadang pergi makan di restoran Pakistan atau Italia di Tokyo bersama teman-teman.
Dari Gunma ke Tokyo, saya harus menggunakan kereta ke Saitama terlebih dulu dengan Tobu Line, atau JR Line yang langsung menuju Tokyo dengan waktu kedatangan kereta setiap satu jam sekali. Tapi tidak jarang juga saya menumpang mobil teman ke Tokyo.
Saat berkunjung ke Tokyo, saya pasti menyempatkan datang ke Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT), sekolah khusus siswa Indonesia yang juga menggunakan kurikulum dan mata pelajaran Indonesia. Saat bulan puasa pun, tak jarang saya dan teman-teman muslim berkumpul dan buka bersama di sana. SRIT memang salah satu tempat berkumpulnya orang-orang Indonesia di Jepang.
Makanan memang menjadi kendala, namun masyarakat Jepang sangat menghargai kami umat muslim. Bahkan di beberapa restoran, sudah menggunakan bahan makanan halal, seperti gyoza halal, dan hal yang masih sama dengan pandangan saya terhadap masyarakat Jepang, yaitu menghargai dan sangat terbuka dengan masyarakat beda negara, terlebih lagi mereka yang tinggal di desa seperti Gunma.
Saya berharap semoga pengalaman enam tahun ini dapat menjadi pengalaman berharga, yang dapat saya ceritakan ke anak cucu, dan dapat membuat saya semakin dewasa.